novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Lalu datanglah anugerah bagi sang istri. Lembaga tempat dia bekerja paruh waktu, menawarkan program training ke luar negeri. Awalnya sang istri ragu, sebab dia khawatir meninggalkan anak-anak selama beberapa pekan. Tetapi lelaki yang dicintainya memberikan support dan mendorongnya untuk pergi, “Ini pengalaman bagus buat Mama,” kata lelaki itu.

Dan ketika dia ingin membantah, lelaki itu menggelengkan kepalanya, “Perempuan lain ingin mendapatkan pengalaman berharga seperti ini. Mama harus pergi. Gak apa. Ada mbak yang menjaga anak-anak.”

Dengan setengah hati perempuan berwajah manis itu meninggalkan keluarganya. Masa-masa berjauhan dilaluinya dengan rindu yang menyiksa, dan perasan berat karena selalu terbayang anak-anak.

Naluri keibuannya rupanya tidak bisa dibohongi.
Meskipun sang suami selalu berkata semua baik-ba ik saja, perempuan itu merasakan ada sesuatu yang terjadi. Dan perasaannya benar.

Anak ketiga mereka dirawat di rumah sakit karena demam berdarah! Suami yang takut membuatnya panik, baru menjelaskan ketika istrinya pulang ke tanah air.

“Maafkan Papa, takut Mama bingung.”

Perempuan itu menangis. Syukurlah kondisi putri mereka membaik. Tapi ada hal lain yang terjadi. Hal yang tak pernah diduganya, hal yang membuat jantungnya luruh.

Suaminya jatuh cinta.
Perempuan itu sungguh tak percaya, ketika mendengarkan ibu mertuanya menangis tersedu-se du menjelaskan apa yang terjadi.

Dunia bahagia yang selama ini dibangunnya seakan runtuh. Apalagi ketika mengetahu gadis cantik yang membuat suaminya jatuh hati, adalah baby sitter yang mereka sewa.

Kami hanya berpegangan tangan. Tak lebih. Elak suaminya.

Tapi hati perempuan itu telanjur hancur. Hara pan-harapan yang dibangunnya seakan menguap.
Suaminya berpaling. Lelaki yang telah membuatnya merasa seperti seorang putri, jatuh cinta lagi.

Allah… apa maksudMu dengan ini semua? Batin sang istri yang terkoyak.

Dengan hati hempas, dia memanggil baby sitter mereka.

Baru kali ini si perempuan memandang le kat-lekat gadis berusia sembilan belas tahun itu.
Meskipun dari desa, wajahnya memang cantik dan ayu.
Kulitnya bersih, rambutnya yang panjang tampak begitu mengilat. Dulu dia tak mengira kalau kecantikan lugu itu akan
memorak-morandakan rumah tangga mereka.

Perempuan itu duduk berhadapan dengan baby sitter yang tertunduk salah tingkah.

“Sudah sejauh apa?’
Baby sitter itu mengelak. Tak mau berbicara lebih jauh.

“Apakah kamu menyukai Bapak?”
Baby sitter itu diam. Ragu. Lalu kepalanya pelan menggeleng.

“Saya tak keberatan jika Bapak menyukaimu, dan kamu menyukai Bapak,”

Saya kaget. Saya berada di sana, menemani perempuan yang telah lama menjadi sahabat saya. Tetap saja kalimat terakhirnya mengejutkan.

Si baby sitter cantik menggeleng. Lagi-lagi salah tingkah.
Saat itu suami si perempuan sedang berada di kantor, sehingga mereka leluasa berbicara. Tidak jauh dari mereka, mertua sahabat saya tampak menangis sesenggukan.

Sebaliknya wajah sahabat saya tampak sangat tegar.
Ketegaran itu baru runtuh ketika kami hanya berdua.

Sahabat saya menangis. Betul-betul menangis.

“Saya sedih,” bisiknya, “salahkah?”
Saya menggeleng. Kesedihan adalah teman manusia.
Tak apa.

“Ibu tadi cerita, bahkan ketika Andin sakit, papanya memilih menemani perempuan itu berobat, meski hanya flu biasa, dan meninggalkan Andin diperiksa hanya ditemani ibu.”

Ah, lelaki. Begitu mudahkah larut dalam pesona?

Saya kehilangan kata-kata. Percuma mengibur, apalagi berlagak mengerti perasaannya. Saya tak ingin berbasa-basi yang tidak perlu.

Kehidupan berlanjut. Suami perempuan itu mengakui kesalahannya, dan berjanji tidak akan mengulangi. Lelaki itu memohon-mohon agar sang istri mau memaafkannya.

“Bisakah?” tanya saya suatu hari. Ketika itu tahun-tahun sudah berlalu begitu banyak.

“Saya tidak tahu,” jawab sahabat saya.
Selalu dan selalu, matanya yang cerah meredup setiap teringat kisah itu. Barangkali memang ada beberapa luka yang tak bisa sembuh, bahkan oleh waktu.

Enam bulan setelah kejadian itu, sahabat saya bercerita perasaannya setiap kali suaminya mendekati.

“Saya merasa jijik,” ujarnya dengan wajah bersalah.

“Tak apa, semua perlu waktu. Lagi pula yang terjadi tidak sejauh itu. Jangan menyiksa pikiran,”

“Tapi siapa yang tahu apa yang sebenarnya terjadi?”

Saya diam. Perempuan manis itu benar. Hanya suaminya dan si baby sitter yang tahu segala. Mereka terkadang pergi ke luar rumah berdua. Dulu terasa biasa saja, toh mereka hanya ke warung, atau apotik. Entahlah.
Ketika saya meminta izin menuliskan cerita ini, sahabat saya mengiyakan, meski dia masih belum lagi sembuh dari kesedihan. Memang tidak ada perceraian. Sang suami tampak bersungguh-sungguh menjaga keutuhan keluarga mereka. Apalagi ada anak-anak diantara keduanya.

“Dia bapak yang baik!” papar sahabat saya suatu hari.
Kehidupan memang terus berjalan. Satu peristiwa, satu hati yang berdarah. Satu hati yang belum juga sembuh.
“Kami masih tidak bisa bersama,” jelasnya. Saya mengerti. Peristiwa itu seolah membekukan semua kehangatan dan keceriaannya sebagai seorang istri. Sang suami tak memaksa. Menjalani saja kehidupan apa adanya.

Anak-anak lebih penting.
Entah sampai kapan mereka bisa bertahan, saya tidak tahu. Tak juga mau menduga-duga.

Saya senang akhirnya sahabat saya bisa mendapatkan kepercayaan diri yang sempat hancur ketika menyadari sosok perempuan yang telah merebut hati suaminya, tak hanya lebih cantik tapi juga jauh lebih muda. Perlahan dia mencoba melupakan yang terjadi. Padahal dunia sempat terasa berhenti baginya.

“Sampai saya sadar, Asma. Di luar sana, banyak pengalaman yang jauh lebih buruk, menimpa istri-is tri lain.

Apa yang terjadi pada saya, barangkali tak seujung kuku yang dialami perempuan-perempuan lain.”

Hubungan normal layaknya suami istri memang sudah patah, akan sulit merekatkannya kembali. Tapi saya mengagumi semangatnya mempertahankan pernikahan, dan tetap menjalaninya penuh syukur. Perempuan itu bahkan pasrah jika karena ketidak- mampuannya sekarang, dikarenakan ulah sang suami, mungkin justru mengakibatkan sang suami menikah di belakangnya.

“Dulu hal itu perkara besar buat saya, tapi sekarang…
sahabat saya itu tertawa.
Sebenarnya banyak yang ingin saya tanyakan padanya.

Apakah dia bahagia? Apakah suaminya bahagia? Kenapa tidak bercerai dan sama-sama memulai yang baru Sebagian orang mungkin akan berpikir begitu. Hidup terlalu singkat untuk larut dalam ketidak bahagiaan.
Betapapun saya menghormati komitmen keduanya. Juga perkataannya yang akan selalu saya ingat,

“Ada hati-hati kecil yang harus dijaga, Asma. Setiap mengingat mereka, maka luka-luka lain menjadi kalah penting. Kebahagiaan saya sempat runtuh, tapi kebahagiaan ketiga anak saya, tidak. Dan saya harus bisa menjaganya.
Sekuat saya.”
Baca cerita silat dan novel online

Catatan 6
Suami Yang Membuatku Disini


“Akhirnya saya malah kerja di sini, mbak. Tempat yang dulu sering dikunjungi laki saya…”

Kamar sempit dengan penerangan yang minim.
Tempat tidur kecil memanjang adalah satu-satu nya benda yang ada di ruangan itu. Di atasnya tampak hamparan sprei berwarna putih yang sudah kusam dan tampak kotor dengan noda di mana-ma na. Saya menahan perasaan ketika mengambil posisi duduk di atasnya, agar berhadap-hadapan dengan seorang perempuan yang usianya barangkali sebaya saya.